Tuesday, June 1, 2010

Sudah Saatnya Sistem Pembayaran Pajak Daerah melalui Perbankan

Di Era Moderen ini, masih banyak hal-hal perlakuan sistem dan prosedur yang tidak menyesuaikan dengan perkembangan jaman saat ini. Salah satunya adalah Sistem Pembayaran administrasi di Pemerintahan termasuk Pembayaran Pajak Daerah yang ada di seluruh Wilayah Indonesia ini. Sistem Pembayaran Pajak Daerah yang masih memakai sistem langsung ke Kas Daerah di Tempat-tempat pemerintahan setempat seperti di Tingkat Kecamatan dan Tingkat Kabupaten, telah membuat sebagian para pejabat pelaksana tidak melakukan tugas dan tanggung jawab terharap pelaksanaan dan kegunaan perpajakan Daerah itu sendiri. Dan Sistem bayar ke Kas Daerah di tempat-tempat pemerintahan telah membuat setiap daerah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan penerimaan yang seharusnya benar-benar masuk menjadi sumber penerimaan Pemerintahan Daerah tersebut.

Jika kita lihat salah satu cara pembayaran pajak daerah, misalkan seperti pajak restoran dan pajak iklan, maka sangat dirasakan betapa sulitnya mengatakan bahwa pendapatan daerah dari Pajak Restoran dan Pajak Iklan sudah maksimal atau belum maksimal. Hal ini dikarenakan banyak faktor-faktor penyebabnya, dimana penyebabnya adalah kurangnya ketegasan dan ruang cakup suatu peraturan Pajak Daerah tersebut dibuat.

Khusus untuk Pajak Restoran dan Iklan ini, sangat-sangat mudah ditemukan penyimpangan-penyimpangan dilapangan, baik yang dilakukan oleh Pejabat Pajak Daerah maupun pihak WP Daerah. Hal ini dikarenakan sistem dan prosedural perpajakan Daerah kurang mengimbangi sistem perkembangan saat ini. Bayangkan kalau suatu restoran menengah bayar pajak Daerah dengan ke Kas Daerah melalui kantor pemerintahan setempat secara Kas/Tunai. Bahkan terkadang pajak daerah tersebut langsung diberikan ke petugas pajaknya dan memberikan bukti bayar pajak daerah. Buat WP pembayaran pajak demikian tidak ada pilihan mengingat banyaknya tekanan peraturan dan perlakuan petugas dilapangan, sehingga lebih condong memilih tingkat amannya saja.
Begitu juga dipembayaran di kantor-kantor kas Negara yang tersebar di departemen-departemen daerah seperti kantor tempat pembayaran pajak di tingkat propinsi, Kabupaten, Kecamatan serta Kelurahan. Proses pengumpulan pajak yang kas/tunai ini dari tingkat bawah ke tingkat atas sangat beresiko banyak penyimpangan-penyimpangan dalam hal pengumpulan pajak di setiap Daerah tersebut.

Jika dilihat dari segi canggihnya teknologi dan banyaknya sarana pendukung saat ini untuk mendukung suatu program seperti pengumpulan pajak Daerah ini, maka sudah saatnya sistem dan prosedur itu harus mengikuti perkembangan jaman agar penerimaan pajak daerah tersebut benar-benar maksimal demi kepentingan pembangunan daerah masing-masing. Misalnya, seperti pembayaran Pajak Daerah langsung ke suatu Kas Daerah melalui Perbankan yang hampir masing-masing daerah memilik bank Perbankan ke Daerahan. Atau bisa juga dengan kerjasama dengan pihak perbankan lainnya sebagaimana pengumpulan pajak Nasional seperti PPh dan PPn melalui Perbankan yang sudah ditunjuk oleh Peraturan yang berlaku. Begitu juga untuk pelaporannya, sudah saatnya mengikuti proses seperti pelaksanaan Perpajakan Nasional dengan membuat aturan dan sistem sesederhana mungkin dan tidak berbelit-belit. Penunjang sarana tempat pengumpulan kantor Pajak Daerah disetiap kecamatan secara online ke Tingkat lebih atas akan memudahkan dan memaksimalkan pengumpulan pajak Daerah.

Namun hal itu, sepertinya masih banyak Pihak Pemda Daerah dan Pihak DPRD yang sepertinya tidak menyadari atau menyadari akan hal itu namun tidak melakukannya. Padahal jika pihak perbankan dilibatkan secara langsung menjadi tempat resmi pembayaran pajak Daerah seperti restoran dan Iklan tadi, maka Penerimaan Daerah tersebut akan lebih mudah dikontrol oleh pihak Pemda demi mencapai penerimaan yang maksimal dari setiap pos-pos Pajak Daerah itu sendiri, dan tidak lagi dilakukan pembayaran pajak secara langsung ke pihak pejabatnya langsung atau pembayaran kas/tunai ke tempat Kas negara yang ada di tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh pihak Pejabat daerah itu sendiri.
Kelemahan sistem pembayaran dan pelaporan ini sampai sekarang sangat membuka peluang besar bagi pihak-pihak pejabat untuk berbuat sesuatu demi kepentingan pribadi dan golongan, dan hal seperti itu,sepertinya sudah menjadi hal biasa disetiap Daerah.
Untuk masa depan, bagi para pejabat sudah saatnya perlu mengevaluasi sistem-sistem dan prosedur-prosedur administrasi pemerintahan yang tidak sesuai dengan perkembangan sekarang ini, termasuk hal sistem dan prosedur pelaksanaan Pajak Daerah tersebut.
Baca Selengkapnya..

Jenis Barang Tidak dikenakan PPn UU No.42 Thn 2009

Dengan berlakunya UU PPn No. 44 Thn 2009 mulai 1 April 2010, maka peta situasi kondisi Perpajakan di Indonesia akan sedikit berubah, terutama tentang PPN.

Banyak Kalangan Pengusaha menengah/Usaha Menengah kebawah yang selama ini menikmati kebebasan tidak dikenakan PPN baik sengaja maupun memang karena peraturan, maka sejak 1 April 2010 akan terpengaruh Dampak dari Berlakunya UU PPn No. 44 Thn 2009 tersebut.

Barangkali informasi singkat Tentang BKP/ Barang-barang /Jasa apa-apa sajakah yang tidak dikenakan PPn menurut UU PPn yang baru tersebut menurut Pasal 4A adalah seperti dibawah ini:
(1) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d. uang, emas batangan, dan surat berharga.

(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. jasa pelayanan kesehatan medis;
b. jasa pelayanan sosial;
c. jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. jasa keuangan;
e. jasa asuransi;
f. jasa keagamaan;
g. jasa pendidikan;
h. jasa kesenian dan hiburan;
i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k. jasa tenaga kerja;
l. jasa perhotelan;
m. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan Pemerintahan secara umum;
n. jasa penyediaan tempat parkir;
o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. jasa boga atau katering.

Dan satu hal yang perlu disimak dalam hal perubahan tersebut adalah adanya perubahan bentuk FOrmulir Faktur Pajak yang tadinya disebut sebagai Faktur Pajak Standar dan Faktur Pajak Sederhana.

Kalau tadinya pengusaha bebas membuat penomoran Faktur Pajak Sederhana, maka sejak berlakunya UU NO. 42 thn 2009 ini maka penomoran Faktur Pajak sebagai sarana mengenakan PPn terhadap setiap penyerahan BKP/JKP, penomoran Faktur Pajak menjadi satu sistem. Sehingga hati-hatilah kalau membeli sesuatu BKP/JKP dengan faktur yang masih bisa dikelompokkan sebagai Faktur Pajak Sederhan tersebut.

UU PPn yang baru ini juga telah membuat lebih adil antara BKP / JKP yang diserahkan oleh pengusaha yang selama ini diwajibkan melakukan perpajakan PPn dengan pengusaha menengah kebawah yang menikmati kelonggaran-kelonggaran UU PPn sebelumnya.
Baca Selengkapnya..